Jumat, 22 Agustus 2008

Ciri-ciri Pemimpin Berkarakter

Ciri-ciri Pemimpin Berkarakter
Abdul Rahman Kadir, MM *


Aktualisasi karakter kepemimpinan yang diharapkan bangsa dan negara adalah yang mampu mengantarkan anak bangsa dari ketergantungan (dependency) menuju kemerdekaan ( independency ), selanjutnya menuju kontinum maturasi diri yang komplit ke saling tergantungan(interdependency), memerlukan pembiasaan melalui contoh keteladanan perilaku para elite politik yang bergerak di eksekutif, yudikatif dan legislatif dalam taman sari demokrasi yang kondusif. Habitat yang dapat dijadikan persemaian karakter pemimpin itu antara lain harus dapat menumbuh suburkan dan mengembangkan perilaku dan sifat-sifat seperti :
1. Kesadaran diri sendiri (self awareness) jujur terhadap diri sendiri dan terhadap oranglain, jujur terhadap kekuatan diri, kelemahan dan usaha yang tulus untuk memperbaikinya.
2. Dasarnya seseorang pemimpin cenderung memperlakukan orang lain dalam organisasi atas dasar persamaan derajad, tanpa harus menjilat keatas menyikut kesamping dan menindas ke bawah. Diingatkan oleh Deepak Sethi agar pemimpin berempati terhadap bawahannya secara tulus.
3. Memiliki rasa ingin tahu dan dapat didekati sehingga orang lain merasa aman dalam menyampaikan umpan balik dan gagasan-gagasan baru secara jujur, lugas dan penuh rasa hormat kepada pemimpinnya.
4. Bersikap transparan dan mampu menghormati pesaing ( lawan politik ) atau musuh, dan belajar dari mereka dalam situasi kepemimpinan ataupun kondisi bisnis pada umumnya.
5. Memiliki kecerdasan, cermat dan tangguh sehingga mampu bekerja secara professional keilmuan dalam jabatannya. Hasil pekerjaanya berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
6. Memiliki rasa kehormatan diri ( a sense of personal honour and personal dignity ) dan berdisiplin pribadi, sehingga mampu dan mempunyai rasa tanggungjawab pribadi atas perilaku pribadinya. Tidak seperti saat ini para pemimpin saling lempar ucapan pedas terhadap rekan sejawatnya yang berbeda aliran politiknya.
7. Memiliki kemampuan berkomunikasi, semangat " team work ", kreatif, percaya diri, inovatif dan mobilitas.



___________
* Penulis adalah Pemerhati Komunikasi Politik dan Irama Kehidupan, Mantan Kakanwil Prop. Sumatera Utara.

Langkah Meraih Peluang

LANGKAH MERAIH PELUANG
by: Jack Febrian


Penyusunan strategi dalam mendapatkan pekerjaan merupakan langkah yang digunakan untuk meraih peluang yang lebih besar dalam rangka meraih peluang karir dan kerja anda.
Paling tidak terdapat lima langkah penting yang harus dilakukan. Jika anda melupakan satu saja dari hal tersebut, maka kemampuan anda akan melemah.
Inilah kelima langkah tersebut yang berkaitan erat dengan keberhasilan anda dalam pencarian peluang kerja.
* Memarketingkan diri
* pembuatan surat pengantar yang dinamis
* membuat isi riwayat hidup yang menampilkan percaya diri
* miliki keahlian kuat dalam wawancara
* lakukan follow up.
Memarketingkan Diri
Persiapan bagian ini merupakan salah satu langkah penting dalam melakukan pencarian kerja. Kekuatan dari persiapan anda ini akan membawa anda melalui proses pencarian. Persiapan tersebut meliputi:
* ketetapan hati dalam menampilkan kekuatan dan kelamahan anda
* mengevaluasi pekerjaan anda dan karir yang diminati
* perkokoh jenjang karir anda dari satu ke yang lainnya
* analisa secara geografis tentang daerah yang diminati
* kembangkan daftar pekerja yang berpotensi
* gunakan media yang mampu memperkenalkan diri anda ke daerah pencarian, sehingga orang-orang dengan mudah menemukan anda.
* Jalin hubungan dengan setiap orang yang mungkin dapat menyediakan jalur pekerjaan dan karir.
Cara terbaik untuk mempersiapkan dalam memperkenalkan diri anda adalah dengan menggunakan internet serta media lainnya, sehingga anda mudah dikenal oleh orang lain.
Membuat Surat Pengantar yang Dinamis
Ketika anda selesai mempersiapkan diri untuk diperkenalkan, pada langkah selanjutnya, anda dapat mempersiapkan surat pengantar untuk dikirimkan kepada mereka yang akan menerima anda. Diantaranya adalah dengan :
* Alamatkan surat tersebut kepada personal,
* Ambil perhatian pembaca pada paragrap pertama dalam surat tersebut.
* Tampilkan dengan rasa percaya diri, namun tidak orogan.
* Fokuskan pada prestasi, kepandaian dan kecakapan anda, bukan pada tanggung jawab.
* Tulis tidak lebih dari satu halaman.
* Gunakan kata kunci yang berkaitan penting dengan bidang kerja
Resume
Resume atau sebuah riwayat hidup merupakan sebuah dokumen yang menerangkan tentang pengalaman kerja anda, pendidikan anda serta training yang anda ikuti, serta keahlian anda dalam bekerja.
Pembiatan resume yang baik merupakan media marketing tentang diri anda. Anda harus mengenal tentang diri anda, dengan asumsi penerima kerja merupakan pembeli. Kenapa mereka harus merekrut anda? Resume anda merupakan media yang sangat membantu anda untuk itu. Kuncinya antara lain adalah:
* Dengan jelas menerangkan tentang diri anda
* Berisi informasi bagaimana penerima pekerja bisa mengontak anda
* Menerangkan tentang keahlian dalam karir anda, bidang yang diminati, dan kekuatan yang anda miliki,
* Fokus kepada keahlian, kepandaian serta prestasi yang anda miliki.
* Menjelaskan tentang keberhasilan anda dalam bidang pendidikan,
* Menggunakan kata kunci yang dibutuhkan oleh penerima kerja,
* Tidak lebih dari satu halaman untuk mereka yang baru saja menamatkan pendidikan, dan tidak lebih dari dua halaman untuk yang lainnya.
Keahlian Kuat Dalam Wawancara
Tidak peduli bagaimana introvertnya anda, setiap orang dapat mempelajari bagaimana melewati proses wawancara dengan baik. Ini adalah hal yang mudah untuk mempelajari aturan dasarnya, lalu praktekkan, dan perbaiki teknik yang anda gunakan sesering yang anda bisa.
Perlu diingat, sehebat apapun marketing tentang diri anda, pembuatan surat pengantar, dan riwayat hidup anda, anda bisa-bisa kehilangan peluang jika proses wawancara ini tidak dilewatkan dengan baik. Berikut ini beberapa hal mendasar tentang wawancara tersebut.
* Penampilan dan aksi pertama anda adalah kunci,
* Pewawancara umumnya dapat mengenal anda sekilas dalam waktu lima menit pertama,
* Penggunaan pakaian tidak hanya sebuah klise, gunakanlah pakaian yang layak untuk proses tersebut.
* Anda perlu mencoba dan mengontrol tempo serta arah pembicaraan, jangan hanya merespon mereka, namun ambil juga inisiatif.
* Persiapkan juga jawaban untuk pertanyaan yang sering ditanyakan oleh para pewawancara dengan baik.
* Persiapkan juga pertanyaan, sehingga memperlihatkan bahwa diri anda juga proaktif melalui proses wawancara ini.
* Perlu diingat, bahwa anda sedang menjual sebuah produk, yaitu diri anda sendiri, jadi jangan terlalu rendah hati.
Tindak Lanjuti
Ini merupakan domino terakhir yang penting untuk keberhasilan anda. Jika anda tidak menindaklanjuti mereka, anda bisa-bisa gagal di sini, yaitu pada langkah terakhir. Ikuti langkah berikut:
* Telpon mereka yang mewawancarai anda, tanyakan tentang wawancara,
* Telpon kembali mereka untuk menunjukkan minat anda, dan anda percaya diri untuk itu,
* Kirimkan surat pengantar dan riwayat hidup anda segera, terutama apabila mereka menanyakan hal ini.


___________
* Jack Febrian -- Dosen dan Praktisi Teknologi Informasi di Bandung. Telah menulis beberapa buku, diantaranya Menggunakan Internet, Kamus Komputer dan Teknologi Informasi, Menjelajah Dunia dengan Google, Tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia, dll..

Kelebihan dan Keunggulan Seorang Pemimpin

Kelebihan dan Keunggulan Seorang Pemimpin
Oleh : Drs. Abdul Rahman Kadir, MM*
Berbagai literatur dalam dan luar negeri, yang kuno maupun yang mutakhir, yang tradisional maupun modern, yang sederhana maupun yang canggih, mengajarkan kepada kita bahwa seorang pemimpin harus selalu memiliki kelebihan dan keunggulan dari pada rakyatnya. Berikut ini petikan pendapat para pakar negara kepemimpinan : 1. " Pemimpin adalah pengaruh ". John Maxwell deskripsi satu kata, singkat dan sederhana, yang menempatkan kepemimpinan dalam jangkauan setiap orang. Kepemimpinan bukan jabatan, posisi, atau bagan alir ( Flowchart ). Kepemimpinan adalah suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan lain. 2. " Karakter adalah kekuasaan ". Booker T. Washington, yang harus dipelajari dalam pelajaran pertama adalah kepemimpinan berwawasan luas dibangun dari karakter yang hakiki. Infrastruktur karakter yang baik sangat penting untuk mendukung tingkah laku ( behavior ) yang baik. Kepercayaan dan keterlibatan pengikut akan parallel dengan level karakter kita ( pemimpin ). 3. " Karakter adalah hasil pembiasaan dari sebuah gagasan dan perbuatan, Stephen R. Covey: ". Taburlah gagasan, tuailah perbuatan. Taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan. Taburlah kebiasaan, tuailah KARAKTER. Taburlah karakter, tuailah nasib ". The Seven Habits of Highly Effective People. 4. " NASIB merupakan sisa dari rancangan", Branch Rickey selanjutnya menyatakan : "Orang banyak membicarakan nasib bagus dan nasib jelek, jarang sekali keberhasilan ditentukan oleh PELUANG. Orang bilang; " Nasib baik terjadi ketika peluang sesuai dengan persiapan ". 5. " Gunakan kekuasaan untuk membantu orang. Kita diberi kekuasaan tidak untuk meraih tujuan pribadi, atau membuat pertunjukan terbesar di dunia, dan bukan untuk mendapatkan nama. Hanya ada satu kegunaan kekuasaan yakni membantu orang." George Bush.
________
* Penulis adalah pemerhati komunikasi politik Jl. Adinegoro No. 14 dan Irama Kehidupan Medan ( 20235 ) Mantan Ka.Kanwil Deppen SU E. mail: ark_infokom @ plasa.com

Kamis, 21 Agustus 2008

Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural
Muhaimin El-Ma'hady. S. Pd.I *


A. Pendahuluan
Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi September 11 dan invasi Amerika Serikat ke Irak serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan keragaman dan antar kelompok di Indonesia.
Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama.
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata "uh. huh". Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya "keahlian" yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.
Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk metril maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam" misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah.
Dalam konteks pendapat yang ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Wacana ini mulai ramai terdengar di kalangan akademis, praktisi budaya dan aktifis di awal tahun 2000 di Indonesia.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai kajian tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai bahan kajian lanjutan untuk mengetahui corak, peluang dan tantangan pendidikan multikultural di Indonesia.
B. Perjalanan Multikulturalisme dan Wacana Pendidikan Multikultural
Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.
Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:
Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.
Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturalisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo-Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama "Indian" adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada.
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sd sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan multi-lingual".
Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan:
- Content integration
mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
-The Knowledge Construction Process
Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)
-An Equity Paedagogy
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
-Prejudice Reduction
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka
- Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu;
1. Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.
4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.
Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
C. Wacana Multikulturalisme dan Pendidikan multikultural di Indonesia
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah.
Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan amsuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.
Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.
Penutup
Pendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.
Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras dan lain sebagainya dalam pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang membedakannya adalah ketakwaan mereka kepada Allah Swt. Dalam Islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam bidang ilmu.
Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.
Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural tersebut. Bila tidak disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai andil dalam menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah gegap gempita lagu nyaring "tentang kurikulum berbasis kompetensi", harus menyelinap dalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan "ini" dan "itu", tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang beragam tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Munawwar, Said Aqil Husin, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur'ani dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2003, Cet. I
Amir, Muhammad, Konsep Masyarakat Islam, Jakarta, Fikanati, Aneska, 1992.
Analisis CSIS, tahun XXX/2001, No. 3
DEPAG RI dan IRD, Majalah: Inovasi Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalism, Edisi IV, Tahun 2003
Dewey, John, Democracy and Education, New York: The Mac Millan Company, 1964
Hery Noer Aly dkk, Watak Pendidikan Islam, Jakarta, Friska Agan Insani, 2000
Freire, Paulo, Pendidikan pembebasan, Jakarta, LP3S, 2000
IKA UIN Syarif Hidayatullah, Majalah: Tsaqafah: Mengagas Pendidikan Multikultural , Vol. I No:2, 2003
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2001, cet I
Nita E. Woolfolk, educational Psychology: Seventh Edition, The Ohio State Universiy, 1998
Paul Gorski, Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The Question We Should Be Asking, dalam www. Edchange.org/multicultural
Republika, tanggal 03 September 2003.
Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai Wahana mencerdaskan kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, Jakarta, CINAPS, 2000, cet. I
Stavenhagen, Rudolfo, "Education for a Multikultural world", in Jasque Delors (et all), Learning: the treasure within, Paris, UNESCO, 1996
Tilaar, H. A. R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002

________
* Mahasiswa di Pasca UIN syarif Hidayatullah Jakarta
Nama & E-mail (Penulis):Muhaemin El-Ma'hady. S. pd.I

Jalan Menuju Pekerjaan Baru

JALAN MENUJU PEKERJAAN BARU
Jack Febrian
-- *


Para ahli dalam bidang karir ini memperkirakan bahwa banyak dari lowongan perkerjaan tidak diiklankan di media masa, termasuk pada situs penerima tenaga kerja yang ada, namun mereka sebarkan dari mulut ke mulut, atau dikenal juga dengan lewat jaringan yang tersembunyi. Peluang inilah yang dapat anda manfaatkan di sini.
Dengan adanya jaringan ini, artinya akan membangun jaringan anda secara pribadi dengan banyak pihak, yaitu dengan berkumpul dengan mereka yang berpotensi melalui jalur sosial dan jaringan fungsi bisnis. Tentu saja ini merupakan kelebihan anda dalam memanfaatkan jaringan ini. Untuk itu kembangkanlah jaringan anda melalui kontak pribadi dengan mereka, bertukar pikiran tentang keahlian dengan mereka.
Mereka mungkin saja dapat memberikan anda informasi tentang pekerjaan yang sedang dibuka, menawarkan saran dan informasi tentang berbagai perusahaan dan industri, atau bahkan mengenalkan anda kepada yang lainnya, sehingga anda dapat memanfaatkan dan mengembangkan jaringan ini.
Cara terbaik untuk memulainya adalah dengan membangun jaringan dengan lingkungan keluarga, kawan dan lingkungan anda. Jangan hanya berhenti di sini, bangun lagi jaringan anda dengan yang lainnya, dengan mereka yang seprofesi, kolega dalam industri yang sama, dan lakukan pertemuan dengan mereka melalui berbagai kegiatan lapangan seperti seminar, pameran, konferensi, ngopi bareng, atau dalam bentuk silaturahmi darat lainnya. Berbicaralah dengan mereka baik dengan pejabat di perusahaan, pimpinan, dan atau melalui para ahli lainnya.
Kunci keberhasilan dalam hal ini adalah menyediakan energi yang dibutuhkan sehingga keinginan anda terkabul. Pertama, anda lakukan terorganisir, misalnya dengan menyimpan kartu pengenal bisnis mereka atau menyimpannya ke dalam daftar kontak anda. Kedua, anda perlu melakukan kontak, misalnya dengan melakukan kontak secara regular, mengirimkan email, atau bahkan memberikan ucapan atas hari-hari besar mereka seperti ulang tahun, kegiatan keagamaan, dll. Ketiga, anda perlu mengatur target anda sendiri dengan mengaturnya, misalnya dengan mengontak 5 orang dalam seminggu.
___________
* Dosen dan Praktisi Teknologi Informasi di Bandung. Telah menulis beberapa buku, diantaranya Menggunakan Internet, Kamus Komputer dan Teknologi Informasi, Menjelajah Dunia dengan Google, Tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia, dll..

Komersialisasi Pendidikan Tinggi

Komersialisasi Pendidikan Tinggi
By: Tata Sutabri S.Kom, MM --*

Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research & Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian.
Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.
Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi, sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.
Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.
Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja.
Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik. Lebih parah lagi, bahkan ada PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.
Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi komoditi bisnis semata.
Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.

___________
* Deputy Chairman of STMIK INTI INDONESIA, Pemerhati Dunia Pendidikan TI, Jl. Arjuna Utara No.35 – Duri Kepa Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510 Telp. 5654969, e-mail : tata.sutabri@inti.ac.id .

Selasa, 19 Agustus 2008

SEKOLAH GRATIS

SEKOLAH GRATIS?? KENAPA NGGAK MUNGKIN??
By:Mufidatul Munawwaroh *

"Tujuan dari pendidikan seyogyanya adalah memanusiakan manusia"

(Paulo Freire: pemikir pendidikan asal Brazil)

Freire dengan kritik dan ide-idenya terhadap dunia pendidikan semakin membuka cara pandang serta mindset para pemerhati dunia pendidikan yang ingin melakukan pemajuan dunia pendidikan. Yang dimaksud Freire dengan pendidikan memanusiakan manusia adalah, bahwa pendidikan bertujuan untuk melahirkan generasi – generasi yang memiliki pengetahuan, budi pekerti, berjiwa sosial, serta mampu mengaplikasikan pengetahuan yang telah didapatkannya kepada lingkungan sekitarnya untuk meningkatkan taraf hidup bersama. Tujuan mulia tersebut bila telah dipahami secara mendalam oleh setiap individu di negeri ini maka tidak akan ada lagi kesenjangan di setiap golongan masyarakat.
Sekolah, dengan ataupun tanpa disadari masyarakat telah menjelma menjadi kebutuhan primer. Kesadaran orang tua -yang memiliki anak dalam usia sekolah- untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan yang bernama sekolah juga begitu tinggi. Terlihat pada saat tahun ajaran baru, orang tua rela menunda memenuhi kebutuhan lain demi memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya. Karena, bagi para orang tua anak adalah investasi.
Menciptakan SDM yang tangguh merupakan sebuah kewajiban bagi bangsa kita yang sangat besar ini, bangsa yang jumlah penduduknya masuk dalam 5 besar penduduk terbanyak dunia!! tapi SDM nya masuk kategori terendah!!
Mungkin ada yang berpendapat bahwa pendidikan harus ditempuh melalui bangku sekolah formal, tapi jika di survey secara serius perbandingan sekolah yang 'asal-asalan' dengan yang profesional pengelolaannya tentu sangat njomplang (timpang red.). banyak alasan mengapa sekolah mereka compang-camping, kurikulum mereka juga berantakan, belum lagi guru-gurunya yang kualifikasinya rendah. Nah, oleh sebab itu sudah selayaknya perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan menjadi prioritas utama. Memang, kalau dilihat dari hasilnya secara signifikan belum tentu bisa dilihat dalam waktu 5-10 tahun, tapi dalam rentang setelah itu Indonesia pasti benar-benar menjelma menjadi macan asia sungguhan, bukan macan asia di sinetron.
Sebuah Skenario Jahat
Dunia pendidikan pada hari ini sedang mendekati proses kematian. Kita mengetahui bahwa segala aspek yang ada di dalam lingkungan pendidikan telah diseragamkan oleh pembuat kebijakan. Mereka yang ingin bersekolah diwajibkan memiliki baju seragam yang tidak seluruh masyarakat dapat memenuhinya, membeli buku-buku sekolah yang terkadang telah expeired, menjalankan kurikulum yang dipaksakan untuk disamakan dengan keinginan pembuat kebijakan, pembiayaan sekolah yang begitu tinggi, serta mengikuti ujian yang disentralisasi tanpa mempertimbangkan kelayakan lulusannya, nilai kelulusan peserta didik yang ditempuh selama 3 tahun ditentukan hanya dengan 3 hari!! serta berbagai macam tuntutan yang harus – dan memang dipaksakan – dipenuhi oleh masyarakat di negeri ini.
Kewajiban yang akan – dan memang – memberatkan masyarakat tersebut tidak diimbangi dengan apa yang mereka peroleh dari lembaga pendidikan tempat mereka “belajar?“. Secara garis besar kita bisa melihat bahwa tuntutan menggunakan pakaian seragam oleh sekolah tidak menjamin mereka untuk mampu memahami apa yang telah diberikan oleh sang pendidik. Tentunya keterbatasan tersebut muncul dari pribadi seseorang untuk mengerti sesuatu, tapi hal tersebut bisa diminimalisir ketika para pendidik mampu untuk mengelaborasi seluruh keterbatasan tersebut menjadi suatu bentuk tranformasi pengetahuan yang bisa segera diaplikasikan secara nyata oleh manusia-manusia yang didik oleh mereka. Pada kenyataannya setiap murid, pelajar, siswa, bahkan mahasiswa dituntut untuk memahami segala perbuatan dari sang pendidik bukan sebaliknya para pendidik yang harus memahami manusia-manusia yang dididik olehnya.
Permasalahan pendidikan di Indonesia cukup mendapatkan respon yang baik dari pemerintah dari segi penyaluran anggaran pemerintah bagi sektor pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari besaran persentase bagi dunia pendidikan Indonesia sebesar 20% dari APBN. Rakyat yang berada di golongan bawah tentunya sangat apresiatif terhadap ini, karena anggaran tersebut dapat memenuhi biaya pendidikan yang ditanggung oleh mereka. Ya, dengan anggaran tersebut setiap warga negara Indonesia bisa mengenyam pendidikan gratis. Ya, dengan anggaran tersebut setiap warga negara Indonesia tidak lagi akan membeli buku-buku pendidikan yang sangat amat memberatkan. Ya, dengan anggaran tersebut kita tidak akan lagi melihat anak-anak mengerjakan tugas orang tuanya di ruas jalan utama di setiap kota.
Ya, anggaran tinggal anggaran, perencanaan tinggal perencanaan. Kita hanya bisa bermimpi untuk mengenyam pendidikan yang biayanya sangat memberatkan bagi golongan mayoritas di negeri ini. Bahkan mimpi-mimpi itu pun terkadang membunuh kita dengan sendirinya.
Bertebarannya berita di koran mengenai seorang siswa yang meninggal bunuh diri karena tidak sanggup membayar uang untuk studi banding sebesar Rp. 8.000,- merupakan salah satu contoh dari biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat yang kurang mampu. Bila kita menggunakan logika dasar kita sebagai manusia, tidak sewajarnya seorang manusia mengakhiri hidup hanya karena beban Rp. 8.000,- yang memberatkan baginya, serta banyak lagi permasalahan akan kebutuhan pokok yang harus mereka penuhi. Dengan harga tersebut menghilangkan nyawanya yang oleh orang-orang kaya harga tersebut tidak akan mengurangi kekayaan mereka.
Permasalahan dasar yang bisa diambil dari contoh kasus di atas bukan hanya sebatas pada ketidakmampuan untuk memenuhi biaya kegiatan yang hanya sebagai pendukung bagi kelancaran proses pendidikan, tetapi pendidikan pada saat ini telah menghilangkan kesempatan bagi warga negara untuk mendapatkan hak mereka secara layak dengan membebankan biaya yang begitu tinggi kepada setiap warga negara. Dengan arti kata orang miskin di Indonesia dilarang untuk menikmati fasilitas negara di sektor pendidikan!!
Wjar Dikdas 9 Tahun
Kita dapat melihat banyak sekali slogan-slogan di kota ataupun di desa-desa akan mudah terlihat selebaran-selebaran atau pamflet yang mengusung Wajib Belajar 9 Tahun. Pemikiran kita tentunya akan kembali pada pemaknaan akan Undang-Undang mengenai pendidikan dimana setiap waga negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan dikelola bersama oleh pemerintah bersama dengan masyarakat di negeri ini. Secara harfiah, warga negara Indonesia yang berusia 6 - 15 berkewajiban untuk mendapatkan pendidikan di lembaga pendidikan formal ( sekolah ) yang telah dibangun oleh pemerintah dari swadaya masyarakat. Kewajiban ini berkaitan dengan isi prembule UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah tersebut tentunya diikuti pula dengan penguatan perundang-undangan atau peraturan yang menjelaskan sistematika dari proses tersebut. Mulai dari bagaimana proses tranformasi pengetahuan dijalankan, pembiayaan yang dibebankan sepenuhnya kepada negara, sampai kepada referensi yang dibutuhkan sesuai dengan jenjang pendidikan. Kenyataannya pada saat ini kita belum melihat hal itu terjadi, namun saat ini kita kembali dililitkan pada kenyataan bahwa sekolah-sekolah hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berada di jajaran menengah ke atas dengan menisbikan kaum bawah ( orang miskin ). Indikasi tersebut bisa kita lihat bahwa Wajib Belajar 9 Tahun disertai dengan keseragaman yang harus kita penuhi dengan biaya yang sangat mahal. Jadi, Wajib Belajar 9 Tahun hanyalah sebuah fatamorgana yang dimunculkan ke permukaan oleh stakeholder negeri ini sebagai salah satu bentuk penghapusan dosa terhadap pelanggaran perundang-undangan tanpa melihat penderitaan yang dialami oleh warga negaranya dalam memenuhi tuntutan tersebut.
Ketika kita ingin bersekolah, kita dituntut untuk memiliki pakaian seragam demi kelancaran proses mengajar. Ketika kita ingin bersekolah, kita diwajibkan untuk membeli buku-buku referensi dengan harga yang jauh dari pendapatan kita per hari. Ketika kita ingin bersekolah, kita diwajibkan untuk menyamakan isi kepala kita dengan para pendidik. Ketika kita ingin bersekolah, banyak orang menutup mata. Bahkan ketika kita diwajibkan untuk bersekolah, mereka melepas tanggung jawab yang telah diamanahkan oleh rakyatnya.
Sebuah pertanyaan yang harus kita jawab bersama, akan digiring ke arah mana tujuan mulia pendidikan di negeri ini ?
Wacana Sekolah Gratis
Wacana sekolah gratis dari sekolah dasar hingga SMU pernah terdengar menjadi alat kampanye calon presiden pada pemilu capres 2004 yang lalu. Juga para raja-raja kecil (baca: bupati dan walikota red.) hampir semuanya mengangkat tema kampanye tentang pendidikan murah-lah, gratis-lah atau apal-ah yang berbau propaganda&slogan mencari simpati, karena memang investasi di dunia pendidikan tidak akan bisa dinikmati para raja kecil yang menjabat selama 5 tahun, paling lama 10 tahun. hal ini berbeda dengan investasi di bidang industri dan hiburan, karena hasilnya dengan cepat bisa dinikmati. Kita dapat dengan mudah mendapati perubahan mendasar di daerah-daerah yang merupakan kantong basis pendidikan, misal Bandung, Jogjakarta dan Malang. Kota yang diharapkan menjadi kawah condrodimuko pendidikan lambat laun berubah menjadi kota mall, ruko, perumahan, villa dan hiburan!!mau jadi apa generasi bangsa ini??
Menurut saya, ide sekolah gratis sebenarnya cukup realistis, mungkin hanya perlu dilakukan secara bertahap. Misalnya prioritas utama adalah sekolah negeri, dan jika rasanya belum mampu hingga tahap SMU, ya hingga SMP saja terlebih dahulu.
Apa yang dilakukan Gede Winasa, Bupati Jembrana, Bali merupakan langkah revolusioner dalam rangka empowering dalam dunia pendidikan. Inilah bupati yang pertama memberi pelayanan kesehatan gratis kepada warganya. Dialah juga bupati pertama yang menggratiskan sekolah negeri. Padahal, kabupatennya termasuk paling miskin di Bali. Di bawah kepemimpinannya, pendapatan Jembrana meningkat dalam empat tahun dari Rp2,3 miliar pada 2000 menjadi Rp8,5 miliar pada 2004. Sejalan dengan itu, dia juga merampingkan ABPD Kabupaten Jembrana, salah satunya adalah meniadakan pembelian mobil dinas. Mobil dinas Bupati adalah mobil rental Hardtop tahun 80an yang dirental sebesar Rp 3 juta/bulan. Dengan merental, Bupati terlepas dari biaya maintenance, beli ban, oli dsb. Dalam kepemimpinannya selama 4 tahun, total nilai rental mobil ini jauh dibawah harga sebuah Kijang Innova.
PAD Kabupaten Jembarana hingga saat ini masih sangat rendah dibanding dengan kabupaten lain di Bali, juga sangat jauh dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten yang menjadi basis pendidikan. Tetapi, ironisnya kabupaten yang kaya itu tidak mampu memberikan kesehatan dan pendidikan gratis kepada penduduknya.
Apa yang dilakukan Bupati Jembrana adalah contoh kuatnya komitmen pemimpin kepada rakyat, sekalipun Jembrana kabupaten miskin. Sebuah teladan yang mestinya juga bisa dilakukan kepala-kepala daerah yang lain di seluruh Indonesia.
Dengan berkaca kepada Jembrana, sudah sepantasnyalah pemerintah mulai pusat hingga daerah untuk mewujudkan sekolah gratis menjadi - bukan hanya - program kampanye melainkan sebuah tindakan nyata. Setidak-tidaknya dengan mengagendakan program tersebut, menunjukkan bahwa ada bentuk konkrit kepedulian terhadap dunia pendidikan, semoga saja perubahan itu aka segera terwujud. Amiin Ya Robbal Alamin***


_______
* Penulis adalah guru BK di Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Simo Lamongan