Selasa, 19 Agustus 2008

SEKOLAH GRATIS

SEKOLAH GRATIS?? KENAPA NGGAK MUNGKIN??
By:Mufidatul Munawwaroh *

"Tujuan dari pendidikan seyogyanya adalah memanusiakan manusia"

(Paulo Freire: pemikir pendidikan asal Brazil)

Freire dengan kritik dan ide-idenya terhadap dunia pendidikan semakin membuka cara pandang serta mindset para pemerhati dunia pendidikan yang ingin melakukan pemajuan dunia pendidikan. Yang dimaksud Freire dengan pendidikan memanusiakan manusia adalah, bahwa pendidikan bertujuan untuk melahirkan generasi – generasi yang memiliki pengetahuan, budi pekerti, berjiwa sosial, serta mampu mengaplikasikan pengetahuan yang telah didapatkannya kepada lingkungan sekitarnya untuk meningkatkan taraf hidup bersama. Tujuan mulia tersebut bila telah dipahami secara mendalam oleh setiap individu di negeri ini maka tidak akan ada lagi kesenjangan di setiap golongan masyarakat.
Sekolah, dengan ataupun tanpa disadari masyarakat telah menjelma menjadi kebutuhan primer. Kesadaran orang tua -yang memiliki anak dalam usia sekolah- untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan yang bernama sekolah juga begitu tinggi. Terlihat pada saat tahun ajaran baru, orang tua rela menunda memenuhi kebutuhan lain demi memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya. Karena, bagi para orang tua anak adalah investasi.
Menciptakan SDM yang tangguh merupakan sebuah kewajiban bagi bangsa kita yang sangat besar ini, bangsa yang jumlah penduduknya masuk dalam 5 besar penduduk terbanyak dunia!! tapi SDM nya masuk kategori terendah!!
Mungkin ada yang berpendapat bahwa pendidikan harus ditempuh melalui bangku sekolah formal, tapi jika di survey secara serius perbandingan sekolah yang 'asal-asalan' dengan yang profesional pengelolaannya tentu sangat njomplang (timpang red.). banyak alasan mengapa sekolah mereka compang-camping, kurikulum mereka juga berantakan, belum lagi guru-gurunya yang kualifikasinya rendah. Nah, oleh sebab itu sudah selayaknya perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan menjadi prioritas utama. Memang, kalau dilihat dari hasilnya secara signifikan belum tentu bisa dilihat dalam waktu 5-10 tahun, tapi dalam rentang setelah itu Indonesia pasti benar-benar menjelma menjadi macan asia sungguhan, bukan macan asia di sinetron.
Sebuah Skenario Jahat
Dunia pendidikan pada hari ini sedang mendekati proses kematian. Kita mengetahui bahwa segala aspek yang ada di dalam lingkungan pendidikan telah diseragamkan oleh pembuat kebijakan. Mereka yang ingin bersekolah diwajibkan memiliki baju seragam yang tidak seluruh masyarakat dapat memenuhinya, membeli buku-buku sekolah yang terkadang telah expeired, menjalankan kurikulum yang dipaksakan untuk disamakan dengan keinginan pembuat kebijakan, pembiayaan sekolah yang begitu tinggi, serta mengikuti ujian yang disentralisasi tanpa mempertimbangkan kelayakan lulusannya, nilai kelulusan peserta didik yang ditempuh selama 3 tahun ditentukan hanya dengan 3 hari!! serta berbagai macam tuntutan yang harus – dan memang dipaksakan – dipenuhi oleh masyarakat di negeri ini.
Kewajiban yang akan – dan memang – memberatkan masyarakat tersebut tidak diimbangi dengan apa yang mereka peroleh dari lembaga pendidikan tempat mereka “belajar?“. Secara garis besar kita bisa melihat bahwa tuntutan menggunakan pakaian seragam oleh sekolah tidak menjamin mereka untuk mampu memahami apa yang telah diberikan oleh sang pendidik. Tentunya keterbatasan tersebut muncul dari pribadi seseorang untuk mengerti sesuatu, tapi hal tersebut bisa diminimalisir ketika para pendidik mampu untuk mengelaborasi seluruh keterbatasan tersebut menjadi suatu bentuk tranformasi pengetahuan yang bisa segera diaplikasikan secara nyata oleh manusia-manusia yang didik oleh mereka. Pada kenyataannya setiap murid, pelajar, siswa, bahkan mahasiswa dituntut untuk memahami segala perbuatan dari sang pendidik bukan sebaliknya para pendidik yang harus memahami manusia-manusia yang dididik olehnya.
Permasalahan pendidikan di Indonesia cukup mendapatkan respon yang baik dari pemerintah dari segi penyaluran anggaran pemerintah bagi sektor pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari besaran persentase bagi dunia pendidikan Indonesia sebesar 20% dari APBN. Rakyat yang berada di golongan bawah tentunya sangat apresiatif terhadap ini, karena anggaran tersebut dapat memenuhi biaya pendidikan yang ditanggung oleh mereka. Ya, dengan anggaran tersebut setiap warga negara Indonesia bisa mengenyam pendidikan gratis. Ya, dengan anggaran tersebut setiap warga negara Indonesia tidak lagi akan membeli buku-buku pendidikan yang sangat amat memberatkan. Ya, dengan anggaran tersebut kita tidak akan lagi melihat anak-anak mengerjakan tugas orang tuanya di ruas jalan utama di setiap kota.
Ya, anggaran tinggal anggaran, perencanaan tinggal perencanaan. Kita hanya bisa bermimpi untuk mengenyam pendidikan yang biayanya sangat memberatkan bagi golongan mayoritas di negeri ini. Bahkan mimpi-mimpi itu pun terkadang membunuh kita dengan sendirinya.
Bertebarannya berita di koran mengenai seorang siswa yang meninggal bunuh diri karena tidak sanggup membayar uang untuk studi banding sebesar Rp. 8.000,- merupakan salah satu contoh dari biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat yang kurang mampu. Bila kita menggunakan logika dasar kita sebagai manusia, tidak sewajarnya seorang manusia mengakhiri hidup hanya karena beban Rp. 8.000,- yang memberatkan baginya, serta banyak lagi permasalahan akan kebutuhan pokok yang harus mereka penuhi. Dengan harga tersebut menghilangkan nyawanya yang oleh orang-orang kaya harga tersebut tidak akan mengurangi kekayaan mereka.
Permasalahan dasar yang bisa diambil dari contoh kasus di atas bukan hanya sebatas pada ketidakmampuan untuk memenuhi biaya kegiatan yang hanya sebagai pendukung bagi kelancaran proses pendidikan, tetapi pendidikan pada saat ini telah menghilangkan kesempatan bagi warga negara untuk mendapatkan hak mereka secara layak dengan membebankan biaya yang begitu tinggi kepada setiap warga negara. Dengan arti kata orang miskin di Indonesia dilarang untuk menikmati fasilitas negara di sektor pendidikan!!
Wjar Dikdas 9 Tahun
Kita dapat melihat banyak sekali slogan-slogan di kota ataupun di desa-desa akan mudah terlihat selebaran-selebaran atau pamflet yang mengusung Wajib Belajar 9 Tahun. Pemikiran kita tentunya akan kembali pada pemaknaan akan Undang-Undang mengenai pendidikan dimana setiap waga negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan dikelola bersama oleh pemerintah bersama dengan masyarakat di negeri ini. Secara harfiah, warga negara Indonesia yang berusia 6 - 15 berkewajiban untuk mendapatkan pendidikan di lembaga pendidikan formal ( sekolah ) yang telah dibangun oleh pemerintah dari swadaya masyarakat. Kewajiban ini berkaitan dengan isi prembule UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah tersebut tentunya diikuti pula dengan penguatan perundang-undangan atau peraturan yang menjelaskan sistematika dari proses tersebut. Mulai dari bagaimana proses tranformasi pengetahuan dijalankan, pembiayaan yang dibebankan sepenuhnya kepada negara, sampai kepada referensi yang dibutuhkan sesuai dengan jenjang pendidikan. Kenyataannya pada saat ini kita belum melihat hal itu terjadi, namun saat ini kita kembali dililitkan pada kenyataan bahwa sekolah-sekolah hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berada di jajaran menengah ke atas dengan menisbikan kaum bawah ( orang miskin ). Indikasi tersebut bisa kita lihat bahwa Wajib Belajar 9 Tahun disertai dengan keseragaman yang harus kita penuhi dengan biaya yang sangat mahal. Jadi, Wajib Belajar 9 Tahun hanyalah sebuah fatamorgana yang dimunculkan ke permukaan oleh stakeholder negeri ini sebagai salah satu bentuk penghapusan dosa terhadap pelanggaran perundang-undangan tanpa melihat penderitaan yang dialami oleh warga negaranya dalam memenuhi tuntutan tersebut.
Ketika kita ingin bersekolah, kita dituntut untuk memiliki pakaian seragam demi kelancaran proses mengajar. Ketika kita ingin bersekolah, kita diwajibkan untuk membeli buku-buku referensi dengan harga yang jauh dari pendapatan kita per hari. Ketika kita ingin bersekolah, kita diwajibkan untuk menyamakan isi kepala kita dengan para pendidik. Ketika kita ingin bersekolah, banyak orang menutup mata. Bahkan ketika kita diwajibkan untuk bersekolah, mereka melepas tanggung jawab yang telah diamanahkan oleh rakyatnya.
Sebuah pertanyaan yang harus kita jawab bersama, akan digiring ke arah mana tujuan mulia pendidikan di negeri ini ?
Wacana Sekolah Gratis
Wacana sekolah gratis dari sekolah dasar hingga SMU pernah terdengar menjadi alat kampanye calon presiden pada pemilu capres 2004 yang lalu. Juga para raja-raja kecil (baca: bupati dan walikota red.) hampir semuanya mengangkat tema kampanye tentang pendidikan murah-lah, gratis-lah atau apal-ah yang berbau propaganda&slogan mencari simpati, karena memang investasi di dunia pendidikan tidak akan bisa dinikmati para raja kecil yang menjabat selama 5 tahun, paling lama 10 tahun. hal ini berbeda dengan investasi di bidang industri dan hiburan, karena hasilnya dengan cepat bisa dinikmati. Kita dapat dengan mudah mendapati perubahan mendasar di daerah-daerah yang merupakan kantong basis pendidikan, misal Bandung, Jogjakarta dan Malang. Kota yang diharapkan menjadi kawah condrodimuko pendidikan lambat laun berubah menjadi kota mall, ruko, perumahan, villa dan hiburan!!mau jadi apa generasi bangsa ini??
Menurut saya, ide sekolah gratis sebenarnya cukup realistis, mungkin hanya perlu dilakukan secara bertahap. Misalnya prioritas utama adalah sekolah negeri, dan jika rasanya belum mampu hingga tahap SMU, ya hingga SMP saja terlebih dahulu.
Apa yang dilakukan Gede Winasa, Bupati Jembrana, Bali merupakan langkah revolusioner dalam rangka empowering dalam dunia pendidikan. Inilah bupati yang pertama memberi pelayanan kesehatan gratis kepada warganya. Dialah juga bupati pertama yang menggratiskan sekolah negeri. Padahal, kabupatennya termasuk paling miskin di Bali. Di bawah kepemimpinannya, pendapatan Jembrana meningkat dalam empat tahun dari Rp2,3 miliar pada 2000 menjadi Rp8,5 miliar pada 2004. Sejalan dengan itu, dia juga merampingkan ABPD Kabupaten Jembrana, salah satunya adalah meniadakan pembelian mobil dinas. Mobil dinas Bupati adalah mobil rental Hardtop tahun 80an yang dirental sebesar Rp 3 juta/bulan. Dengan merental, Bupati terlepas dari biaya maintenance, beli ban, oli dsb. Dalam kepemimpinannya selama 4 tahun, total nilai rental mobil ini jauh dibawah harga sebuah Kijang Innova.
PAD Kabupaten Jembarana hingga saat ini masih sangat rendah dibanding dengan kabupaten lain di Bali, juga sangat jauh dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten yang menjadi basis pendidikan. Tetapi, ironisnya kabupaten yang kaya itu tidak mampu memberikan kesehatan dan pendidikan gratis kepada penduduknya.
Apa yang dilakukan Bupati Jembrana adalah contoh kuatnya komitmen pemimpin kepada rakyat, sekalipun Jembrana kabupaten miskin. Sebuah teladan yang mestinya juga bisa dilakukan kepala-kepala daerah yang lain di seluruh Indonesia.
Dengan berkaca kepada Jembrana, sudah sepantasnyalah pemerintah mulai pusat hingga daerah untuk mewujudkan sekolah gratis menjadi - bukan hanya - program kampanye melainkan sebuah tindakan nyata. Setidak-tidaknya dengan mengagendakan program tersebut, menunjukkan bahwa ada bentuk konkrit kepedulian terhadap dunia pendidikan, semoga saja perubahan itu aka segera terwujud. Amiin Ya Robbal Alamin***


_______
* Penulis adalah guru BK di Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Simo Lamongan

Tidak ada komentar: